Join the forum, it's quick and easy

Would you like to react to this message? Create an account in a few clicks or log in to continue.

    GAIRAH BU SONY

    doreng
    doreng


    Jumlah posting : 3
    Join date : 21.07.10
    Age : 37
    Lokasi : AG

    GAIRAH BU SONY Empty GAIRAH BU SONY

    Post by doreng 30th July 2010, 11:30 pm

    Sebenarnya saya malu untuk menuliskan cerita ini, tetapi karena sudah
    banyak yang menggunakan media ini untuk menuliskan cerita-cerita tentang
    seks walaupun saya sendiri tidak yakin apakah itu semuanya fakta atau
    fiksi belaka. Memang cerita yang saya tulis ini cukup memalukan tetapi
    di samping itu ada kejadian yang lucu dan memang sama sekali belum
    pernah saya alami.

    Awal mula dari cerita ini adalah ketika saya baru saja tinggal di sebuah
    daerah perumahan yang relatif baru di daerah pinggiran kota-maaf, nama
    daerah tersebut tidak saya sebutkan mengingat untuk menjaga nama baik
    dan harga diri keluarga terutama suami dan kedua anak saya. Saya tinggal
    di situ baru sekitar 6 bulanan.
    Karena daerah perumahan tersebut masih baru maka jumlah keluarga yang
    menempati rumah di situ masih relatif sedikit tetapi khusus untuk blok
    daerah rumah saya sudah lumayan banyak dan ramai. Rata-rata keluarga
    kecil seperti keluarga saya juga yaitu yang sudah masuk generasi
    Keluarga Berencana, rata-rata hanya mempunyai dua anak tetapi ada juga
    yang hanya satu anak saja.
    Sudah seperti biasanya bila kita menempati daerah perumahan baru, saya
    dengan sengaja berusaha untuk banyak bergaul dengan para tetangga bahkan
    juga dengan tetangga-tetangga di blok yang lain. Dari hasil bergaul
    tersebut timbul kesepakatan di antara ibu-ibu di blok daerah rumahku
    untuk mengadakan arisan sekali dalam sebulan dan diadakan bergiliran di
    setiap rumah pesertanya.

    Suatu ketika sedang berlangsung acara arisan tersebut di sebuah rumah
    yang berada di deretan depan rumahku, pemilik rumah tersebut biasa
    dipanggil Bu Soni (bukan nama sebenarnya) dan sudah lebih dulu satu
    tahun tinggal di daerah perumahan ini daripada saya. Bu Soni bisa
    dibilang ramah, banyak ngomongnya dan senang bercanda dan sampai saat
    tulisan ini aku buat dia baru mempunyai satu anak, perempuan, berusia 8
    tahun walaupun usia rumah tangganya sudah 10 tahun sedangkan aku sudah
    30 tahun. Aku menikah ketika masih berusia 22 tahun. Suaminya bekerja di
    sebuah perusahaan swasta dan kehidupannya juga bisa dibilang kecukupan.

    Setelah acara arisan selesai saya masih tetap asyik ngobrol dengan Bu
    Soni karena tertarik dengan keramahan dan banyak omongnya itu sekalipun
    ibu-ibu yang lain sudah pulang semua. Dia kemudian bertanya tentang
    keluargaku, “Jeng Mar. Putra-putranya itu sudah umur berapa, sih, kok
    sudah dewasa-dewasa, ya?” (Jeng Mar adalah nama panggilanku tetapi bukan
    sebenarnya) tanya Bu Soni kepadaku.
    “Kalau yang pertama 18 tahun dan yang paling ragil itu 14 tahun. Cuma
    yaitu Bu, nakalnya wah, wah, waa.. Aah benar-benar, deh. Saya, tuh, suka
    capek marahinnya.”

    “Lho, ya, namanya juga anak laki-laki. Ya, biasalah, Jeng.”
    “Lebih nikmat situ, ya. Anak cuma satu dan perempuan lagi. Nggak bengal.”
    “Ah, siapa bilang Jeng Mar. Sama kok. Cuma yaitu, saya dari dulu, ya,
    cuma satu saja. Sebetulnya saya ingin punya satu lagi, deh. Ya, seperti
    situ.”
    “Lho, mbok ya bilang saja sama suaminya. ee.. siapa tahu ada rejeki, si
    putri tunggalnya itu bisa punya adik. Situ juga sama suaminya kan masih
    sama-sama muda.”
    “Ya, itulah Jeng. Papanya itu lho, suka susah. Dulu, ya, waktu kami mau
    mulai berumah tangga sepakat untuk punya dua saja. Ya, itung-itung
    mengikuti program pemerintah, toh, Jeng. Tapi nggak tahu lah papanya
    tuh. Kayaknya sekarang malah tambah asik saja sama kerjaannya. Terlalu
    sering capek.”
    “O, itu toh. Ya, mbok diberi tahu saja kalau sewaktu-waktu punya
    perhatian sama keluarga. ‘Kan yang namanya kerja itu juga butuh
    istirahat. Mbok dirayu lah gitu.”
    “Wah, sudah dari dulu Jeng. Tapi, ya, tetap susah saja, tuh. Sebenernya
    ini, lho, Jeng Mar. Eh, maaf, ya, Jeng kalo’ saya omongin. Tapi Jeng Mar
    tentunya juga tau dong masalah suami-istri ‘kan.”
    “Ya, memang. Ya, orang-orang yang sudah seperti kita ini masalahnya
    sudah macem-macem, toh, Bu. Sebenarnya Bu Soni ini ada masalah apa,
    toh?”
    “Ya, begini Jeng, suami saya itu kalo’ bergaul sama saya suka
    cepet-cepet mau rampung saja, lho. Padahal yang namanya istri seperti
    kita-kita ini ‘kan juga ingin membutuhkan kenikmatan yang lebih lama,
    toh, Jeng.”
    “O, itu, toh. Mungkin situ kurang lama merayunya. Mungkin suaminya butuh variasi atau model yang agak macem-macem, gitu.”
    “Ya, seperti apa ya, Jeng. Dia itu kalo’ lagi mau, yang langsung saja.
    Saya seringnya nggak dirangsang apa-apa. Kalo’ Jeng Mar, gimana, toh?
    Eh, maaf lho, Jeng.”
    “Kalo’ saya dan suami saya itu saling rayu-merayu dulu. Kalo’ suami saya
    yang mulai duluan, ya, dia biasanya ngajak bercanda dulu dan akhirnya
    menjurus yang ke porno-porno gitulah. Sama seperti saya juga kalau
    misalnya saya yang mau duluan.””Terus apa cuma gitu saja, Jeng.”
    “O, ya tidak. Kalo’ saya yang merayu, biasanya punya suami saya itu saya
    pegang-pegang. Ukurannya besar dan panjang, lho. Terus untuk lebih
    menggairahkannya, ya, punyanya itu saya enyot dengan mulut saya. Saya
    isep-isep.”
    “ii.. Iih. Jeng Mar, ih. Apa nggak jijik, tuh? Saya saja membayangkannya juga sudah geli. Hii..”
    “Ya, dulu waktu pertama kali, ya, jijik juga, sih. Tetapi suami saya itu
    selalu rajin, kok, membersihkan gituannya, jadi ya lama-lama buat saya
    nikmat juga. Soalnya ukurannya itu, sih, yang lumayan besar. Saya
    sendiri suka gampang terangsang kalo’ lagi ngeliat. Mungkin situ juga
    kalo’ ngeliat, wah pasti kepengen, deh.”
    “Ih, saya belon pernah, tuh, Jeng. Lalu kalo’ suaminya duluan yang mulai begimana?”
    “Saya ditelanjangi sampai polos sama sekali. Dia paling suka
    merema-remas payudara saya dan juga menjilati putingnya dan kadang
    lagaknya seperti bayi yang sedang mengenyot susu.”, kataku sambil ketawa
    dan tampak Bu Soni juga tertawa.
    “Habis itu badan saya dijilati dan dia juga paling suka menjilati
    kepunyaan saya. Rasanya buat saya, ya, nikmat juga dan biasanya saya
    semakin terangsang untuk begituan. Dia juga pernah bilang sama saya kalo’ punya saya itu semakin nikmat dan saya disuruh meliara baik-baik.”
    “Ah, tapi untuk yang begituan itu saya dan suami saya sama sekali belum
    pernah, lho, Jeng. Tapi mungkin ada baiknya untuk dicoba juga, ya, Jeng.
    Tapi tadi itu masalah yang situ dijilatin punyanya. Rasa enaknya
    seperti apa, sih, Jeng.”
    “Wah, Bu Soni ini, kok, seperti kurang pergaulan saja, toh.”
    “Lho, terus terang Jeng. Memang saya belon pernah, kok.”
    “Ya, geli-geli begitulah. Susah juga untuk dijelasin kalo’ belum pernah merasakan sendiri.” Lalu kami berdua tertawa.
    Setelah berhenti tertawa, aku bertanya, “Bu Soni mau tau rasanya kalau gituannya dijilati?”
    “Yah, nanti saya rayu, deh, suami saya. Mungkin nikmat juga ya.” Ucapnya sambil tersenyum.
    “Apa perlu saya dulu yang coba?”, tanyaku sambil bercanda dan tersenyum.
    “Hush!! Jeng Mar ini ada-ada saja, ah”, sambil tertawa.
    “Ya, biar tidak kaget ketika dengan suaminya nanti. Kita ‘kan juga sama-sama wanita.”
    “Wah, kayak lesbian saja. Nanti saya jadi ketagihan, lho. Malah takutnya
    lebih senang sama situ daripada sama suami saya sendiri. Ih! Malu’
    akh.”, sambil tertawa.
    “Atau kalo’ nggak mau gitu, nanti saya kasih tau gimana membuat
    penampilan bulu gituannya biar suaminya situ tertarik. Kadang-kadang
    bentuk dan penataannya juga mempengaruhi rangsangan suami, lho, Bu
    Soni.”
    “Ah, Jeng ini.”
    “Ee! Betul, lho. Mungkin bentuk bulu-bulu gituannya Bu Soni
    penampilannya kurang merangsang. Kalo’ boleh saya lihat sebentar
    gimana?”
    “Wah, ya, gimana ya. Tapii.. ya boleh, deh. Eh, tapi saya juga boleh
    liat donk punyanya situ. Sama-sama donk, ‘kan kata Jeng tadi kita ini
    sama-sama wanita.””Ya, ‘kan saya cuma mau bantu situ supaya bisa usaha
    untuk punya anak lagi.””Kalo’ gitu kita ke kamar saja, deh. Suami saya
    juga biasanya pulang malam. Yuk, Jeng.”
    Langsung kita berdua ke kamar Bu Soni. Kamarnya cukup tertata rapi,
    tempat tidurnya cukup besar dan dengan kasur busa. Di dindingnya ada
    tergantung beberapa foto Bu Soni dan suaminya dan ada juga foto
    sekeluarga dengan anaknya yang masih semata wayang. Saya kemudian ke
    luar sebentar untuk telepon ke rumah kalau pulangnya agak telat karena
    ada urusan dengan perkumpulan ibu-ibu dan kebetulan yang menerima
    suamiku sendiri dan ternyata dia setuju saja.
    Setelah kita berdua di kamar, Bu Soni bertanya kepadaku, “Bagaimana Jeng? Kira-kira siap?”
    “Ayolah. Apa sebaiknya kita langsung telanjang bulat saja?”
    “OK, deh.”, jawab Bu Soni dengan agak tersenyum malu. Akhirnya kita
    berdua mulai melepas pakaian satu-persatu dan akhirnya polos lah semua.
    Bulu kemaluan Bu Soni cukup lebat juga hanya bentuknya keriting dan
    menyebar, tidak seperti miliku yang lurus dan tertata dengan bentuk
    segitiga ke arah bawah. Lalu aku menyentuh payudaranya yang agak bulat
    tetapi tidak terlalu besar, “Lumayan juga, lho, Bu.” Lalu Bu Soni pun
    langsung memegang payudaraku juga sambil berkata, “Sama juga seperti
    punya Jeng.” Aku pun minta ijin untuk mengulum kedua payudaranya dan dia
    langsung menyanggupi.
    Kujilati kedua putingnya yang berwarna agak kecoklat-coklatan tetapi
    lumayan nikmat juga. Lalu kujilati secara keseluruhan payudaranya. Bu
    Soni nampak terangsang dan napasnya mulai memburu. “Enak juga, ya, Jeng.
    Boleh punya Jeng saya coba juga?””Silakan saja.”, ijinku. Lalu Bu Soni
    pun melakukannya dan tampak sekali kalau dia masih sangat kaku dalam
    soal seks, jilatan dan kulumannya masih terasa kaku dan kurang begitu
    merangsang. Tetapi lumayanlah, dengan cara seperti ini aku secara tidak
    langsung sudah menolong dia untuk bisa mendapatkan anak lagi.
    Setelah selesai saling menjilati payudara, kami berdua duduk-duduk di
    atas tempat tidur berkasur busa yang cukup empuk. Aku kemudian memohon
    Bu Soni untuk melihat liang kewanitaannya lebih jelas, “Bu Soni. Boleh
    nggak saya liat gituannya? Kok bulu-bulunya agak keriting. Tidak seperti
    milik saya, lurus-lurus dan lembut.” Dengan agak malu Bu Soni
    membolehkan, “Yaa.. silakan saja, deh, Jeng.” Aku menyuruh dia, “Rebahin
    saja badannya terus tolong kangkangin kakinya yang lebar.” Begitu dia
    lakukan semuanya terlihatlah daging kemaluannya yang memerah segar
    dengan bibirnya yang sudah agak keluar dikelilingi oleh bulu yang cukup
    lebat dan keriting. mm.. Cukup merangsang juga penampilannya.
    Kudekatkan wajahku ke liang kewanitaannya lalu kukatakan kepada Bu Soni
    bahwa bentuk kemaluannya sudah cukup merangsang hanya saja akan lebih
    indah pemandangannya bila bulunya sering disisir agar semakin lurus dan
    rapi seperti milikku. Lalu kusentuh-sentuh daging kemaluannya dengan
    tanganku, empuk dan tampak cukup terpelihara baik, bersih dan tidak ada
    bau apa-apa. Nampak dia agak kegelian ketika sentuhan tanganku mendarat
    di permukaan alat kelaminnya dan dia mengeluh lirih, “Aduh, geli, lho,
    Jeng.”
    “Apa lagi kalo’ dijilat, Bu Soni. Nikmat, deh. Boleh saya coba?”
    “Aduh, gimana, ya, Jeng. Saya masih jijik, sih.”
    “Makanya dicoba.”, kataku sambil kuelus salah satu pahanya.
    “mm.. Ya, silakan, deh, Jeng. Tapi saya tutup mata saja, ah.”
    Lalu kucium bibir kemaluannya sekali, chuph!! “aa.. Aah.”, Bu Soni
    mengerang dan agak mengangkat badannya. Lalu kutanya, “Kenapa? Sakit,
    ya?” Dia menjawab, “Geli sekali.” “Saya teruskan, ya?” Bu Soni pun hanya
    mengangguk sambil tersenyum. Kuciumi lagi bibir kemaluannya
    berkali-kali dan rasa geli yang dia rasakan membuat kedua kakinya
    bergerak-gerak tetapi kupegangi kedua pangkal pahanya erat-erat.
    Badannya bergerinjal-gerinjal, pantatnya naik turun. Uh! Pemandangan
    yang lucu sekali, aku pun sempat ketawa melihatnya. Saya keluarkan lidah
    dan saya sentuhkan ujungnya ke bibir kemaluannya berkali-kali. Oh! Aku
    semakin terbawa napsu. Kujilati keseluruhan permukaan memeknya,
    gerakanku semakin cepat dan ganas. Oh, Bu Soni, memekmu nikmaa..aat
    sekali.
    Aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Semua terkonsentrasi pada pekerjaan
    menjilati liang kewanitaan Bu Soni. Emm.., Enak sekali. Terus kujilati
    dengan penuh napsu. Pinggir ke tengah dan gerakan melingkar. Kumasukan
    lidahku ke dalam celah bibir kemaluannya yang sudah mulai membuka. Ouw!
    Hangat sekali dan cairannya mulai keluar dan terasa agak asin dan baunya
    yang khas mulai menyengat ke dalam lubang hidungku. Tapi aku tak
    peduli, yang penting rasa kemaluan Bu Soni semakin lezat apalagi
    dibumbui dengan cairan yang keluar semakin banyak. Kuoleskan ke seluruh
    permukaan kemaluannya dengan lidahku. Jilatanku semakin licin dan
    seolah-olah semua makanan yang ku makan pada saat acara arisan tadi
    rasanya tidak ada apa-apanya. Badan Bu Soni bergerinjal semakin hebat
    begitu juga pantatnya naik-turun dengan drastis. Dia mengerang lirih,
    “aa.. Ah, ee.. Eekh, ee.. Eekh, Jee.. Eeng, auw, oo.. Ooh. Emm.. Mmh.
    Hah, hah, hah,.. Hah.” Dan saat mencapai klimaks dia merintih, “aa..,
    aa.., aa.., aa.., aah”, Cairan kewanitaannya keluar agak banyak dan
    deras. OK, nampaknya Bu Soni sudah mencapai titik puncaknya.
    Tampak Bu Soni telentang lemas dan aku tanya, “Bagaimana? Enak? Ada rasa puas?” “Lumayan nikmat, Jeng. Situ nggak jijik, ya.”
    “Kan sudah biasa juga sama suami.” Kemudian aku bertanya sembari bercanda, “Situ mau coba punya saya juga?”
    “Ah, Jeng ini. Jijik ‘kan.”, sembari ketawa.
    “Yaa.. Mungkin belon dicoba. Punya saya selalu bersih, kok. ‘Kan suami
    saya selalu mengingatkan saya untuk memeliharanya.” Kemudian Bu Soni
    agak berpikir, mungkin ragu-ragu antara mau atau tidak. Lalu, “Boleh,
    deh, Jeng. Tapi saya pelan-pelan saja, ah. Nggak berani lama-lama.”
    “Ya, ndak apa-apa. ‘Kan katanya situ belum biasa. Betul? Mau coba?”
    tantangku sembari senyum. Lalu dia cuma mengangguk. Kemudian aku
    menelentangkan badanku dan langsung kukangkangkan kedua kakiku agar
    terlihat liang kewanitaanku yang masih indah bentuknya. Tampak Bu Soni
    mulai mendekatkan wajahnya ke liang kewanitaanku lalu berkata, “Wah,
    Jeng bulu-bulunya lurus, lemas dan teratur. Pantes suaminya selalu
    bergairah.” Aku hanya tertawa.
    Tak lama kemudian aku rasakan sesuatu yang agak basah menyentuh
    kemaluanku. Kepalaku aku angkat dan terlihat Bu Soni mulai berani
    menyentuh-nyentuhkan ujung lidahnya ke liang kewanitaanku. Kuberi dia
    semangat, “Terus, terus, Bu. Saya merasa nikmat, kok”. Dia hanya
    memandangku dan tersenyum. Kurebahkan lagi seluruh tubuhku dan kurasakan
    semakin luas penampang lidah Bu Soni menjilati liang kewanitaan saya.
    Oh! Aku mulai terangsang. Emm.. Mmh. Bu Soni sudah mulai berani. oo..
    Ooh nikmat sekali. Sedaa.. Aap. Terasa semakin lincah gerakan lidahnya,
    aku angkat kepalaku dan kulihat Bu Soni sudah mulai tenggelam dalam
    kenikmatan, rupanya rasa jijik sudah mulai sirna. Gerakan lidahnya masih
    terasa kaku, tetapi ini sudah merupakan perkembangan. Syukurlah.
    Mudah-mudahan dia bisa bercumbu lebih hebat dengan suaminya nanti.
    Lama-kelamaan semakin nikmat. Aku merintih nikmat, “Emm.. Mmh. Ouw. aa..
    Aah, aa.. Aah. uu.. uuh. te.. te.. Rus teruu..uus.” Bibir kemaluanku
    terasa dikulum oleh bibir mulut Bu Soni. Terasa dia menciumi kemaluanku
    dengan bernafsu. Emm.. Mmh, enaknya. Untuk lebih nikmat Bu Soni kusuruh,
    “Pegang dan elus-elus paha saya. Enak sekali Bu.” Dengan spontan kedua
    tangannya langsung mengayunkan elusannya di pahaku. Dia mainkan sampai
    pangkal paha. Bukan main! Sudah sama layaknya aku main dengan suamiku
    sendiri. Terlihat Bu Soni sudah betul-betul asyik dan sibuk menjilati
    liang kewanitaanku. Gerakan ke atas ke bawah melingkar ke seluruh liang
    kewanitaanku. Seolah-olah dia sudah mulai terlatih.
    Kemudian aku suruh dia untuk menyisipkan lidahnya ke dalam liang
    kewanitaanku. Dahinya agak berkerut tetapi dicobanya juga dengan menekan
    lidahnya ke lubang di antara bibir kemaluan saya. “Aaa.. Aakh! Nikmat
    sekali. Aku mulai naik untuk mencapai klimaks. Kedua tangannya terus
    mengelus kedua pahaku tanpa henti. Aku mulai naik dan terasa lubang
    kemaluanku semakin hangat, mungkin lendir kemaluanku sudah banyak yang
    keluar. Akhirnya aku pun mencapai klimaks dan aku merintih, “aa.. Aah,
    uuh”. Sialan Bu Soni tampaknya masih asyik menjilati sedangkan badanku
    sudah mulai lemas dan lelah. Bu Soni pun bertanya karena gerak kaki dan
    badanku berhenti, “Gimana, Jeng?” Aku berkata lirih sambil senyum
    kepadanya, “Jempolan. Sekarang Bu Soni sudah mulai pinter.” Dia hanya
    tersenyum.
    Aku tanya kembali, “Bagaimana? Situ masih jijik nggak?”
    “Sedikit, kok.”, jawabnya sembari tertawa, dan akupun ikut tertawa geli.
    “Begitulah Bu Soni. Mudah-mudahan bisa dilanjutkan lebih mesra lagi dengan suaminya, tetapi jangan bilang, lho, dari saya.”
    “oo.., ya, ndak, toh, Jeng. Saya ‘kan juga malu. Nanti semua orang tahu
    bagaimana?””Sekarang yang penting berusaha agar putrinya bisa punya
    adik. Kasihan, lho, mungkin sejak dulu dia mengharapkan seorang adik.”
    “Ya, mudah-mudahan lah, Jeng. Rejeki akan segera datang. Eh!
    Ngomong-ngomong, Jeng mau nggak kalo’ kapan-kapan kita bersama kayak
    tadi lagi?”
    “Naa.., ya, sudah mulai ketagihan, deh. Yaa, itu terserah situ saja.
    Tapi saya nggak tanggung jawab, lho, kalo’ situ lantas bisa jadi lesbian
    juga. Saya ‘kan cuma kasih contoh saja.”, jawabku sembari mengangkat
    bahu dan Bu Soni hanya tersenyum.
    Kemudian aku cepat-cepat berpakaian karena ingin segera sampai di rumah,
    khawatir suamiku curiga dan berprasangka yang tidak-tidak. Waktu aku
    pamit, Bu Soni masih dalam keadaan telanjang bulat berdiri di depan kaca
    menyisir rambut. Untung kejadian ini tak pernah sampai terbuka sampai
    aku tulis cerita yang aneh dan lucu ini. Soal bagaimana kemesraan Bu
    Soni dan suaminya selanjutnya, itu bukan urusan saya tetapi yang penting
    kelezatan liang kewanitaan Bu Soni sudah pernah aku rasakan.

      Waktu sekarang 12th May 2024, 6:00 am